Minggu, 14 Oktober 2012

Serayu, Senja, dan Sepasang Kekasih : Apresiasi Cerpen “Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus...” Karya Sungging Raga



Serayu...
Serayu. Sungai yang mengalir di Kabupaten Banyumas. Aku kerap melihatnya saat singgah di Mercusii Cafee yang terletak di tepi Sungai Serayu.(Rawalo). Jika aku ke sana sore hari, aku akan melihat kereta yang melintas.
Adalah Sungging Raga. Dengan imajinasi holistiknya, dia mampu menggambarkan sisi kenangan sungai Serayu dengan apik. Dia menggambarkannya melalui karya Cerpen berjudul “Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus...” yang dimuat koran  Kompas, 22 Juli 2012.
Sejenak aku terhenyak. Ada kisah lain yang aku pernah baca mengenai sungai Serayu. Dan sebagai orang awam yang punya mimpi menjadi cerpenis, aku tak pernah membayangkan mempunyai ide cerita tentang kenangan sepasang kekasih sebagaimana cerpen yang ditulis Sungging Raga.
Sungguh sebuah penggambaran yang teramat indah. Seperti membaca sebuah lukisan hidup. Inilah sedikit penggalan, bagian awal cerpen itu :
“SABARLAH, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.”
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen?
Senja...
Senja. Masa transisi antara siang dan malam hari. Saya pernah menulis cerpen –tentang senja-yang berjudul “Perempuan Pencecap Senja”. Berikut penggalan cerpen saya :
“Seorang perempuan renta. Nampak sedang mencecap senja. Dengan wajah menengadah ke langit ia seperti sedang mencecap sesuatu. Awalnya nampak aneh, namun tatkala berulang di setiap senja, ia melakukan hal yang sama, maka bagiku tak aneh lagi.”
Hanya itu yang mungkin aku bisa imajinasikan tentang senja. Dan saat membaca cerpen karya Sungging Raga di atas, aku mendapatkan gambaran tentang senja yang teramat jelas. Berikut penggalan cerpennya :
“Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja?” tanya wanita itu.
Si lelaki tak menjawab, toh sebentar lagi pasti wanita itu menjawab pertanyaannya sendiri.
“Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan.”
Sepasang Kekasih...
Bagiku yang awam, cukup mudah membuat cerpen tentang sepasang kekasih. Namun jika diperhatikan, jalan ceritanya akan dominan dari itu ke itu saja. Terasa monoton. Terasa ada pengulangan-pengulangan. Misalnya tentang seorang lelaki yang ditinggal kekasih hatinya di masa lalu.
Berbeda dengan cerpen karya Sungging Raga di atas. Penggambaran kisah sepasang kekasih begitu membekas di hati pembacanya-setidaknya aku. Si lelaki menjadi masinis yang selalu terkenang kekasih hatinya di masa lalu, saat melintasi sungai Serayu-sebuah sungai yang tak asing lagi bagi masyarakat Banyumas di mana aku tinggal. Bahkan kereta pun ikut berhenti, seperti ingin menyaksikan detik-detik teramat syahdu berlalunya senja di atas jembatan sungai Serayu.
Serayu. Teramat menarik untuk diikuti cerita-ceritanya.
Senja. Sebuah penggalan waktu yang biasa digunakan untuk mengenang sesuatu.
Sepasang kekasih. Sebuah tema yang teramat indah untuk diceritakan.
Sungging Raga telah menghadirkan ketiganya di hadapan pembaca. Membuat pembaca-setidaknya aku- ikut terpana seakan ikut menikmati senja yang berbalut cerita di atas. Mengarahkan pembaca-setidaknya aku- pada kenangan indah yang teramat indah untuk dilupakan. Membuat pembaca-setidaknya aku-tak bisa berkata apa-apa.[]




1 komentar:

  1. Sependapat dg pak Agus, cerpen tsb sangat memainkan perasaan pembaca

    BalasHapus