Serayu...
Serayu. Sungai yang mengalir di Kabupaten Banyumas.
Aku kerap melihatnya saat singgah di Mercusii Cafee yang terletak di tepi
Sungai Serayu.(Rawalo). Jika aku ke sana sore hari, aku akan melihat kereta
yang melintas.
Adalah Sungging Raga. Dengan imajinasi
holistiknya, dia mampu menggambarkan sisi kenangan sungai Serayu dengan apik.
Dia menggambarkannya melalui karya Cerpen berjudul “Serayu, Sepanjang Angin
Akan Berembus...” yang dimuat
koran Kompas, 22 Juli 2012.
Sejenak aku terhenyak. Ada kisah lain yang aku pernah
baca mengenai sungai Serayu. Dan sebagai orang awam yang punya mimpi menjadi
cerpenis, aku tak pernah membayangkan mempunyai ide cerita tentang kenangan
sepasang kekasih sebagaimana cerpen yang ditulis Sungging Raga.
Sungguh sebuah penggambaran yang teramat indah.
Seperti membaca sebuah lukisan hidup. Inilah sedikit penggalan, bagian awal cerpen
itu :
“SABARLAH, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah
ini.”
Serayu, seindah apakah senja yang
kau bilang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air
yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan
memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak
batuan besar dasar sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita
yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang
sebelum stasiun Kebasen?
Senja...
Senja. Masa transisi antara
siang dan malam hari. Saya pernah menulis cerpen –tentang senja-yang berjudul
“Perempuan Pencecap Senja”. Berikut penggalan cerpen saya :
“Seorang
perempuan renta. Nampak sedang mencecap senja. Dengan wajah menengadah ke
langit ia seperti sedang mencecap sesuatu. Awalnya nampak aneh, namun tatkala
berulang di setiap senja, ia melakukan hal yang sama, maka bagiku tak aneh
lagi.”
Hanya itu yang mungkin aku bisa imajinasikan tentang
senja. Dan saat membaca cerpen karya Sungging Raga di atas, aku mendapatkan
gambaran tentang senja yang teramat jelas. Berikut penggalan cerpennya :
“Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu
setiap kali melihat senja?” tanya wanita itu.
Si lelaki tak menjawab, toh sebentar
lagi pasti wanita itu menjawab pertanyaannya sendiri.
“Karena senja seperti dirimu,
pendiam, tapi menyenangkan.”
Sepasang Kekasih...
Bagiku yang
awam, cukup mudah membuat cerpen tentang sepasang kekasih. Namun jika diperhatikan,
jalan ceritanya akan dominan dari itu ke itu saja. Terasa monoton. Terasa ada
pengulangan-pengulangan. Misalnya tentang seorang lelaki yang ditinggal kekasih
hatinya di masa lalu.
Berbeda
dengan cerpen karya Sungging Raga di atas. Penggambaran kisah sepasang kekasih
begitu membekas di hati pembacanya-setidaknya aku. Si lelaki menjadi masinis
yang selalu terkenang kekasih hatinya di masa lalu, saat melintasi sungai
Serayu-sebuah sungai yang tak asing lagi bagi masyarakat Banyumas di mana aku
tinggal. Bahkan kereta pun ikut berhenti, seperti ingin menyaksikan detik-detik
teramat syahdu berlalunya senja di atas jembatan sungai Serayu.
Serayu.
Teramat menarik untuk diikuti cerita-ceritanya.
Senja.
Sebuah penggalan waktu yang biasa digunakan untuk mengenang sesuatu.
Sepasang
kekasih. Sebuah tema yang teramat indah untuk diceritakan.
Sungging
Raga telah menghadirkan ketiganya di hadapan pembaca. Membuat pembaca-setidaknya
aku- ikut terpana seakan ikut menikmati senja yang berbalut cerita di atas. Mengarahkan
pembaca-setidaknya aku- pada kenangan indah yang teramat indah untuk dilupakan.
Membuat pembaca-setidaknya aku-tak bisa berkata apa-apa.[]
Sependapat dg pak Agus, cerpen tsb sangat memainkan perasaan pembaca
BalasHapus