Minggu, 14 Oktober 2012

Ending yang Mencengangkan Pada Cerpen “Seragam” Karya AK Basuki




Kisah persahabatan bisa jadi nilainya jauh lebih besar dibanding sebuah jabatan.
Itu mungkin pesan yang ada pada cerpen “Seragam” karya AK Basuki yang dimuat koran Kompas hari ini (Minggu, 12 Agustus 2012). Dan nilai itu diketahui saat membaca bagian ending cerpen itu. Sebuah ending cerpen yang mencengangkan. Mencengangkan karena tak terduga dan penuh kejutan.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.   
Itulah penggalan cerpen pada paragraf terakhir atau bagian ending cerpen itu. Dan ending tersebut yang menjadi nilai lebih cerpen yang awalnya seperti cerita kenangan biasa itu.
Ibarat sebuah menu makan. Bagian ending tersebut seperti sebuah makanan penutup,misalnya buah, yang menyegarkan dan menjadikan acara makan menjadi istimewa.
Cerpen itu bercerita tentang seseorang yang berkunjung ke rumah sahabatnya di masa kecil. Kunjungan itu menjadi istimewa karena setelah sekian tahun berpisah dan juga mengingatkan kenangan masa kecil saaat sang sahabat yang dikunjunginya menolongnya dari insiden api obor yang membakar tubuhnya dan nyaris membahayakan keselamatan jiwanya. Dan seragam Pramuka sahabatnya itu yang telah melindunginya dari gigil angin malam itu. Dan seragam Jaksa yang dilihatnya tersampir di jok belakang membuatnya gamang. Gamang akan sebuah tugas kedinasan untuk mengeksekusi pengosongan tanah dan rumah sahabatnya itu.
Selain bagian ending yang mencengangkan, ada satu hal lagi yang membuat cerpen itu istimewa. Yakni penulisnya seorang Kompasianer yang cerpen-cerpennya kerap menghiasi kanal Fiksiana Kompasiana yang tercinta ini.
Salam Kompasiana!


Serayu, Senja, dan Sepasang Kekasih : Apresiasi Cerpen “Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus...” Karya Sungging Raga



Serayu...
Serayu. Sungai yang mengalir di Kabupaten Banyumas. Aku kerap melihatnya saat singgah di Mercusii Cafee yang terletak di tepi Sungai Serayu.(Rawalo). Jika aku ke sana sore hari, aku akan melihat kereta yang melintas.
Adalah Sungging Raga. Dengan imajinasi holistiknya, dia mampu menggambarkan sisi kenangan sungai Serayu dengan apik. Dia menggambarkannya melalui karya Cerpen berjudul “Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus...” yang dimuat koran  Kompas, 22 Juli 2012.
Sejenak aku terhenyak. Ada kisah lain yang aku pernah baca mengenai sungai Serayu. Dan sebagai orang awam yang punya mimpi menjadi cerpenis, aku tak pernah membayangkan mempunyai ide cerita tentang kenangan sepasang kekasih sebagaimana cerpen yang ditulis Sungging Raga.
Sungguh sebuah penggambaran yang teramat indah. Seperti membaca sebuah lukisan hidup. Inilah sedikit penggalan, bagian awal cerpen itu :
“SABARLAH, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.”
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen?
Senja...
Senja. Masa transisi antara siang dan malam hari. Saya pernah menulis cerpen –tentang senja-yang berjudul “Perempuan Pencecap Senja”. Berikut penggalan cerpen saya :
“Seorang perempuan renta. Nampak sedang mencecap senja. Dengan wajah menengadah ke langit ia seperti sedang mencecap sesuatu. Awalnya nampak aneh, namun tatkala berulang di setiap senja, ia melakukan hal yang sama, maka bagiku tak aneh lagi.”
Hanya itu yang mungkin aku bisa imajinasikan tentang senja. Dan saat membaca cerpen karya Sungging Raga di atas, aku mendapatkan gambaran tentang senja yang teramat jelas. Berikut penggalan cerpennya :
“Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja?” tanya wanita itu.
Si lelaki tak menjawab, toh sebentar lagi pasti wanita itu menjawab pertanyaannya sendiri.
“Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan.”
Sepasang Kekasih...
Bagiku yang awam, cukup mudah membuat cerpen tentang sepasang kekasih. Namun jika diperhatikan, jalan ceritanya akan dominan dari itu ke itu saja. Terasa monoton. Terasa ada pengulangan-pengulangan. Misalnya tentang seorang lelaki yang ditinggal kekasih hatinya di masa lalu.
Berbeda dengan cerpen karya Sungging Raga di atas. Penggambaran kisah sepasang kekasih begitu membekas di hati pembacanya-setidaknya aku. Si lelaki menjadi masinis yang selalu terkenang kekasih hatinya di masa lalu, saat melintasi sungai Serayu-sebuah sungai yang tak asing lagi bagi masyarakat Banyumas di mana aku tinggal. Bahkan kereta pun ikut berhenti, seperti ingin menyaksikan detik-detik teramat syahdu berlalunya senja di atas jembatan sungai Serayu.
Serayu. Teramat menarik untuk diikuti cerita-ceritanya.
Senja. Sebuah penggalan waktu yang biasa digunakan untuk mengenang sesuatu.
Sepasang kekasih. Sebuah tema yang teramat indah untuk diceritakan.
Sungging Raga telah menghadirkan ketiganya di hadapan pembaca. Membuat pembaca-setidaknya aku- ikut terpana seakan ikut menikmati senja yang berbalut cerita di atas. Mengarahkan pembaca-setidaknya aku- pada kenangan indah yang teramat indah untuk dilupakan. Membuat pembaca-setidaknya aku-tak bisa berkata apa-apa.[]




Mari Bicara Sastra!


Bicara sastra berarti bicara tentang sebuah karya atau karya-karya. Di era teknologi informasi ini, hampir bisa dikatakan setiap orang bisa bersinggungan dengan sastra. Meskipun sastra cenderung identik bagi mereka yang sudah lama berkecimpung di dunia karya sastra (pegiat seni, pegiat sastra, budayawan, seniman, dll). Tetapi di era sekarang, tidaklah salah jika orang awam (orang kebanyakan) yang juga bisa saja menghasilkan karya sastra, berbicara tentang sastra.

Karya sastra yang dimaksud di sini lebih fokus pada sastra tulis : puisi, cerpen, dan novel. Meskipun bicara sastra bisa mencakup hal yang sangat luas : sejarah, jenis dan macamnya, tokoh-tokohnya, dan sebagainya.

Bagi orang awam, bicara sastra bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana. Hal-hal yang dirasa, dialami, dan ditemui dalam keseharian. Seiring berjalanannya waktu, dan seiring talenta menulis yang terus diasah, seseorang bisa mempelajari, sedikit demi sedikit, teori sastra dari teori yang sederhana sampai teori yang lebih tinggi.

Sebuah awal, sesederhana apapun memiliki makna yang sangat istimewa. Daripada tidak melangkah karena takut, gamang, dan sebagainya.

Mari bicara sastra!
Banyumas, 14 Oktober 2012
Agus Pribadi